Dosen Universitas Jambi Hansein Arif Wijaya mengemukakan, bahwa fenomena siswa yang melakukan demonstrasi untuk meminta kepala sekolah diganti bukan sekadar peristiwa sosial biasa di lingkungan pendidikan.
Menurutnya, Ini adalah cerminan dari kegagalan komunikasi vertikal dan horizontal di dalam sistem sekolah. Dalam kacamata manajemen pendidikan, hal ini menandakan adanya disfungsi dalam kepemimpinan sekolah, ketimpangan relasi antarwarga sekolah, dan absennya ruang dialog yang sehat.
Menurut Everard & Morris (1996) dalam teorinya tentang manajemen pendidikan, kepemimpinan kepala sekolah bukan hanya soal mengelola administrasi, melainkan tentang bagaimana membangun “iklim sekolah yang kondusif dan relasional”. Kepala sekolah yang gagal menumbuhkan partisipasi dan rasa memiliki di kalangan siswa dan guru, sejatinya sedang membangun menara gading dalam organisasi yang seharusnya inklusif.
Dari sudut pandang filsafat pendidikan, Paulo Freire mengingatkan bahwa pendidikan adalah praktik pembebasan. Ketika siswa memilih untuk bersuara—meski melalui demonstrasi—itu menandakan bahwa mereka sedang menuntut ruang untuk didengar, bukan sekadar diberi tahu. Freire menolak model pendidikan “bank style” yang hanya menempatkan siswa sebagai objek. Dalam konteks ini, demonstrasi bisa dimaknai sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem yang membungkam suara partisipatif mereka.
Fenomena ini juga menunjukkan kegagalan sekolah dalam menginternalisasi nilai etos dialogis sebagaimana yang ditulis oleh Martin Buber, bahwa “real education is meeting.” Sekolah mestinya menjadi ruang perjumpaan antar subjek, bukan arena konflik antara yang merasa berkuasa dan yang merasa tidak dianggap.
Dalam ranah praksis, kita juga harus bertanya: di mana letak para guru dalam dinamika ini? Jika guru tidak hadir sebagai penengah, pemelihara suasana batin siswa, dan fasilitator aspirasi, maka peran pedagogis mereka menjadi kehilangan makna. Guru seharusnya menjadi cermin nilai-nilai kebijaksanaan yang mampu mendinginkan gejolak dan menjadi jembatan antara kebijakan manajemen dan kenyataan siswa.
Sebagaimana dikemukakan oleh Peter Senge dalam The Fifth Discipline, organisasi pembelajar adalah organisasi yang adaptif, reflektif, dan terbuka terhadap umpan balik. Jika sekolah tidak mampu mengelola kritik dan hanya memandangnya sebagai ancaman, maka sesungguhnya sekolah itu sedang menjauh dari hakikatnya sebagai lembaga pencerdas kehidupan bangsa.
Sebagai akademisi, saya tidak melihat demonstrasi siswa sebagai bentuk pembangkangan, tetapi sebagai isyarat dari sistem yang stagnan dan tertutup. Ia adalah cermin dari krisis kepemimpinan, kemacetan komunikasi, dan kemiskinan ruang dialog. Dalam konteks ini, kita tidak boleh sekadar mencari siapa yang salah, melainkan harus mulai membenahi cara berpikir kita tentang sekolah—bukan sebagai institusi kekuasaan, tetapi sebagai rumah dialog, tumbuh bersama, dan berbagi makna.(bi)