Oleh: Hansein Arif Wijaya, M.Pd. (Dosen Universitas Jambi)Akademisi dan Pemerhati Pendidikan
DALAM praktik manajemen pendidikan di beberapa daerah, rotasi kepala sekolah secara rutin terbukti menjadi salah satu cara efektif menjaga organisasi sekolah tetap segar, dinamis, dan adaptif. Sebagai contoh, di Kota Semarang dan beberapa kabupaten di Jawa Tengah, kebijakan rotasi kepala sekolah dilakukan secara berkala setiap 4 hingga 8 tahun sesuai ketentuan nasional. Data Dinas Pendidikan Kota Semarang yang sering muncul di berbagai pemberitaan (Suara Merdeka, Tribun Jateng, 2019–2023) menunjukkan bahwa rotasi ratusan kepala sekolah telah memicu penyegaran manajemen sekolah, membuka ruang regenerasi, dan memacu motivasi guru untuk meningkatkan kompetensi.
Prinsip ini juga ditegaskan dalam literatur manajemen pendidikan. Mulyasa (2009) dalam bukunya Menjadi Kepala Sekolah Profesional menjelaskan bahwa siklus jabatan kepala sekolah perlu dibatasi agar tidak muncul zona nyaman yang berkepanjangan, yang justru dapat menghambat inovasi manajerial di tingkat satuan pendidikan. Konsep Instructional Leadership juga menekankan pentingnya peran kepala sekolah sebagai pemimpin pembelajaran, bukan sekadar pejabat administratif. Karena itulah, batasan masa jabatan kepala sekolah diatur jelas dalam Permendikbud Nomor 6 Tahun 2018, yaitu hanya dua periode dengan total delapan tahun.
Sayangnya, kabar terbaru di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) justru menunjukkan praktik yang jauh dari semangat tersebut. Sebanyak 68 kepala sekolah dilaporkan masih menjabat di luar batas waktu maksimal, yang berarti tidak hanya melanggar regulasi tetapi juga berpotensi menghambat regenerasi kepemimpinan. Situasi ini menjadi tanda bahwa sistem monitoring dan evaluasi penugasan kepala sekolah di tingkat daerah belum berjalan optimal.
Banyak orang tua barangkali belum melihat secara langsung dampaknya, tetapi suasana sekolah yang sehat, guru yang berdaya, program belajar yang inovatif — semua itu sangat bergantung pada kepemimpinan kepala sekolah. Kepala sekolah memegang kendali atas manajemen internal sekolah: membina guru, merancang program sekolah, menjalin komunikasi dengan orang tua, hingga memastikan visi pendidikan tercapai. Jika satu orang memegang jabatan terlalu lama tanpa evaluasi kinerja yang jelas, maka potensi penurunan motivasi, praktik manajemen yang monoton, hingga munculnya konflik kepentingan menjadi hal yang sulit dihindari.
Selain persoalan masa jabatan, akar masalah sebenarnya adalah lemahnya pengawasan administratif dan minimnya mekanisme regenerasi kepemimpinan. Padahal, pemerintah sudah menyediakan instrumen Data Pokok Pendidikan (Dapodik) yang semestinya diperbarui setiap semester. Dengan Dapodik, informasi masa jabatan kepala sekolah seharusnya bisa diakses, diverifikasi, dan dipantau. Jika Dapodik dikelola dengan baik, praktik melebihi masa jabatan bisa diantisipasi sejak dini.
Langkah Dinas Pendidikan OKI yang berencana melakukan rotasi massal kepala sekolah patut diapresiasi sebagai upaya korektif. Namun demikian, rotasi tidak boleh hanya menjadi formalitas administratif tanpa makna. Proses rotasi harus berbasis penilaian kinerja yang objektif, dilakukan secara transparan, dan diarahkan untuk menumbuhkan kepemimpinan sekolah yang benar-benar profesional.
Saya melihat ada beberapa langkah penting yang dapat dilakukan untuk memperbaiki tata kelola kepemimpinan sekolah di OKI dan juga bisa menjadi cermin bagi daerah lain:
1️. Memperkuat Basis Data dan Pengawasan
Gunakan Dapodik dan instrumen digital lainnya untuk memetakan masa jabatan kepala sekolah secara akurat. Data ini harus diperbarui rutin dan dapat diaudit publik.
2️. Penilaian Kinerja Kepala Sekolah yang Terukur
Rotasi tidak boleh hanya memindahkan jabatan, tetapi juga harus mempertimbangkan hasil Penilaian Kinerja Kepala Sekolah (PKKS). Penilaian ini perlu dilakukan berkala dan melibatkan unsur pengawas sekolah.
3️. Menyiapkan Regenerasi Melalui Diklat Kepemimpinan
Pemerintah daerah perlu menyiapkan calon kepala sekolah baru melalui pendidikan dan pelatihan kepemimpinan. Guru-guru berprestasi perlu diberi peluang untuk maju ke jenjang kepemimpinan.
4️. Melibatkan Pengawasan Masyarakat
Komite sekolah, organisasi profesi guru, serta DPRD harus dilibatkan sebagai bentuk social control agar kebijakan rotasi benar-benar sesuai aturan.
5️. Merevisi Aturan Teknis di Daerah
Jika diperlukan, Pemerintah Daerah dapat membuat Peraturan Bupati yang lebih detail agar sinkron dengan kebijakan pusat, sekaligus memberi kepastian hukum di tingkat teknis.
Praktik rotasi jabatan kepala sekolah harus dipahami sebagai salah satu pilar tata kelola pendidikan yang sehat. Kepala sekolah yang profesional, berintegritas, dan memiliki semangat pembaruan akan melahirkan guru yang lebih termotivasi, siswa yang berprestasi, dan sekolah yang mampu beradaptasi dengan tantangan zaman.
Momentum ini semestinya bukan sekadar penertiban administrasi, tetapi langkah strategis membangun kepercayaan publik bahwa pendidikan daerah dikelola dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan regenerasi kepemimpinan yang adil.
Kalau semua pihak — pemerintah daerah, DPRD, sekolah, guru, orang tua, dan masyarakat — mau bergandengan tangan mengawal perbaikan ini, maka sekolah akan benar-benar menjadi ruang belajar yang sehat, tempat lahirnya generasi masa depan daerah yang lebih cerdas dan berdaya saing.(*)